Segurat senyum di belantara pipinya selalu terpahat hingga menyentuh hati ini. Lihatlah! Senyum itu masih sama, seperti tujuh puluh tahun lalu, masih sama seperti kali pertama aku memasangkan cincin pada jari manisnya. Walau kini kulitnya sudah mengerut, bisiknya telah memarau dan seluruh rambutnya telah memutih, namun senyum itu masih sama. Aura keikhlasan selalu disuguhkannya. Mardiah, istriku. Tujuh puluh tahun sudah kami lalui bahtera rumah tangga. Banyak hal yang kami lewati, menghalang rintang dan menerjang radang bersama. Istriku, itulah wanita yang sangat aku cintai, hampir seabad aku mengolah nurani, namun tak pernah jemu hati ini berlabuh pada cintanya. Mungkin cinta ini akan terus tumbuh, takkan terkikis oleh bendung ombak, kecuali maut yang akan memisahkan raga kami.
“Kreuukkk..kreuuukkkk”, tangannya masih begitu lihai menampi beras-beras itu, bulir-bulir keringat keluar menembus pori, mengalir dari pinggir wajahnya hingga menetes pada kerudung yang ia kenakan.
“Abu, hari ini kita akan bermegang, pergilah ke pasar! Belilah walau hanya sedikit daging biar Mak buatkan sie masak putéh. Lihat saja, anak kita, Ali akan pulang sebentar lagi, ia pasti rindu suasana meugang di kampung ini. Hari ini akan menjadi meugangterindah, dan esok kita akan ber-Idul Adha bersama anak dan cucu-cucu kita. ”
Iya, benar memang. Hari ini merupakan hari meugang bagi kami. Dari setiap sudut kampung, sudah terlihat asap, bau daging yang dimasak dan diracik dengan bumbunya pun sudah mulai menyusup ke setiap indera penciuman. Dari semua sudut rumah, sudah terlihat kebahagian-kebahagian para orang tua yang menyambut anak-anaknya selepas kembali dari kota.
Namun mendengar sederet kata yang baru saja diucapkan Mardhiahku, perih langsung saja merambat batin. Nama itu seakan mendesing memburu telinga. Iya, Ali putra tunggal kami. Buah cinta yang kami besarkan dengan penuh perjuangan. Dia anak yang cerdas. Aku masih ingat, Ali dulu berlari melambai-lambaikan tangan, berteriak memanggil-manggil Mak dan Abunya sembari membawa lembaran koran yang tergulung dalam tangannya. Dengan girang ia perlihatkan sebuah nama yang tertera di situ pada insan awam seperti kami yang tak bisa membaca ini. Tapi kami tahu, itu adalah namanya. Aku dan istriku menerima berita itu penuh haru. Hari itu dirinya penuh kegirangan merisik kabar bahagia, anak yang sangat kami banggakan itu diterima di sekolah, oh universitas. Iya, kalau tidak salah begitulah disebutkan oleh orang-orang sebagai nama tempat menimba ilmu untuk meniti sukses. Seminggu setelah hari itu, ia segera berangkat ke kota untuk merangkul masa depan. Tentu saja, kami tak ingin masa depannya suram. Cukuplah kami yang setiap hari bercucuran keringat menantang perih. Dan semenjak itu satu per satu harta yang kami punya mulailah harus diikhlaskan. Kujual sepetak sawah untuk bekal hidupnya di kota sana, selain itu kerbau yang telah lama menjadi teman dalam mengais rezeki juga harus berpindah tuan. Tak apa, kami ikhlas. Kami percaya sepenuhnya pada Ali untuk kebahagiaannya. Putra yang kami sayangi itu berjanji akan kembali membawa secarik harapan yang telah kami lukis. Bertahun-tahun anak kami di rantau orang. Ia telah sukses, telah menjadi bos besar di tempat kerjanya. Ia juga telah menikahi seorang dara kota yang cantik jelita. Dan sekarang mereka telah bahagia di sana bersama tiga orang anak. Namun, Ali kami tak pernah kembali. Langkah kakinya tak pernah menjejaki lagi tanah di mana pertama kali ia mendengar azan. Aku tak tahu, nafsu mana yang telah merambat dan merajai hati putra kami itu. Mungkinkah ia telah melupakan dua insan renta yang telah membesarkannya ini. Setiap hari kulihat Mardiahku memanjat doa dan memupuk ibadah di atas sajadah sembari meneteskan air mata. Pantas saja, rindunya sudah tak terperi pada jiwa yang telah ia lahirkan. Aku tak mampu menjelaskan bagaimana rindu yang menyusup dalam raga kami. Rindu ini sudah membeku. Bertahun-tahun wajah itu tak kembali.
Setiap tahun, setiap sebelum lebaran, dan setiap heri meugang, Mardhiah istriku selalu menanti putra kami dengan daging masak putihnya. Ia tahu betul kalau itu adalah makanan yang teramat sangat disukai putra kami. Walau pun setiap hari-hari megang, penantian kepulangan putra kami itu berujung kecewa. Ali tak kunjung hadir walau hanya secuil kabar rindu untuk kami.
“Abu, mengapa Abu diam? Cepatlah, sebentar lagi hari sudah siang. Mak ingin di hari megang ini memasak makanan yang paling lezat. Agar cucu-cucu kita nanti bisa menikmati masakan Mak. Mak yakin, megang ini bakal menjadi megang terindah bagi kita.”
Entah apa yang membuat hati Mardiah begitu yakin akan kepulangan Ali. Saban hari, saban bulan, dan saban tahunnya setiap acara megang, ia selalu memasakkan daging sesuai menu kesukaan si Gam kami itu, walaupun berakhir setiap malamnya menjadi megang yang paling mengecewakan. Hari ini kulihat ia begitu menaruh harapan. Tapi sepertinya, Ali memang bakal pulang pada megang ini, begitulah firasatku. Dan menurut kabar yang kuterima melalui sepucuk surat yang kemarin sore dibacakan oleh anak tetangga, ia memang akan pulang. Mendengar berita itu hati kami gembira tiada tara. Sebentar lagi mimpi-mimpi yang telah lama terencana akan tergenggam. Hari ini akan jadi hari megang paling membahagiakan bagi dua insan renta ini.
Ah, benar sekali kata istriku, aku harus segera ke pasar untuk membeli daging yang sudah dijejer oleh para pedagang.
“Baiklah, Abu akan pergi, akan Abu bawakan semuanya untuk menyambut putra kita. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”, seutas senyum kembali terpahat dari bibirnya.
Semangatku menggelegar, walau langkah kini mulai tertatih-tatih dan tak segagah dulu, namun semangatku menggelora untuk menyambut rindu yang telah lama bersemanyam. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana kebahagiaan nanti saat Ali mengisi kembali gubuk kecil kami. Sudah menahun ia pergi. Dan ia pasti sangat merindukan suasana megang dan berlebaran di sini.
Baru beberapa langkah kaki mengayun, suara Mardiah membuatnya terhenti sesaat.
“Abu, jangan berlama-lama, hari ini akan jadi megang terindah buat kita”
“Baik istriku”, aku tersenyum padanya.
***
Aku telah tiba di kerumunan orang, di keramaian manusia. Di sini bau daging kerbau dan daging lembu memang sudah tercium dari kejauhan. Begitulah memang setiap tahunnya di hari sebelum lebaran. Semua berbondong-bondong menuju pasar, membeli daging, lalu mengolahnya menjadi masakan nikmat yang akan disantap bersama anak-anak dan tauladan yang telah lama berpisah.
Kumasukkan tangan ke dalam kantong yang lusuh ini, wahai rabbi, kantong lusuh ini telah koyak. Dan selembar uang lima puluh ribu yang telah kusimpan di dalamnya telah jatuh. Ke mana aku harus mencari dengan mata yang rabun. Bagaimana ini. Aku tak mungkin pulang dengan tangan kosong, Mardiah pasti sangat kecewa kalau aku kembali tanpa membawa sedikit pun daging yang telah di pesannya, sementara di rumah dengan semangatnya ia telah meracik bumbu-bumbu masakannya. Tidak, hatinya pasti hancur jika aku kembali hanya membawa jasad yang tak berguna ini. Apa yang harus kulakukan, aku tak ingin mengemis. Aku tak ingin menjadi manusia peronta-ronta. Lebih baik, aku masuk saja dulu ke sana, mungkin ada yang berbaik hati menghutangkan aku yang renta ini.
“Apa? ngutang? Pergi sana kau Pak Tua. Kami juga butuh makan.”
“Bantulah saya wahai aneuk! Saya berjanji akan membayarnya esok. Bantu saya wahai anak muda, saya tak mungkin pulang dengan tangan kosong, istri saya akan bersedih. Saya janji, esok akan kembali bersama anak saya. Saya janji akan membayarnya.”
“Itu bukan urusan saya.”
“Tapi nak.”
“Sudah, pergi sana kau tua bangka! Aku tak ingin melihatmu di sini.”
Mendengar kata-kata itu, pilu membuncah dalam dada, sesak merasuk hati. Kuelus dada yang tak berdaya lagi. Bagaimana bisa ada insan yang sekejam itu mencederai hati insan yang telah senja ini.
Dengan langkah pelan dan hati yang kecewa aku berjalan berbalik arah. Kulit wajah yang keriput ini akhirnya basah oleh air mata yang menetes. Namun tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku.
“Abu Usman, Abu mau ke mana?”
Aku melirik ke arah suara itu, dan ternyata Abdul, teman bermain Ali semasa kecil dulu. Selama ini hanya Abdul yang matanya tak jemu melirik insan-insan yang telah senja seperti kami. Abdul banyak datang meringankan sedikit susah yang menjadi ketertatihan hidup.
“Abu ingin pulang Abdul”
“Kenapa cepat sekali pulang? Abu tidak membeli apa-apa?”
Apa yang harus kujawab untuk menanggapi kata-kata pemuda berhati mulia ini.
“Tidak nak.”
“Kenapa Abu?”
Akhirnya dengan lidah yang sedikit kaku kuceritakan semua pada anak yang telah kuanggap seperti anak sendiri.
“Ya sudah, Abu jangan ke mana-mana dulu, saya akan kembali”
Melihat Abdul rinduku pada Ali semakin tak terbendung. Ya Rabbi, seandainya saja yang berada di pandanganku ini adalah Ali, sungguh rindu ini akan damai. “Wahai anakku, di mana kau nak? Pulanglah! Pulanglah untuk membelai kembali kulit keriput kami, pulanglah ke pangkuan kami sesaat saja anakku.”
Tak berapa lama kulihat anak muda tadi kembali ke hadapanku membawa beberapa kantong plastik berwarna hitam.
“Abu, ini dagingnya. Saya juga telah membelikan sedikit makanan untuk Abu. Jika nanti Ali telah sampai, tolong kirimkan salam rindu saya padanya. Sekarang Abu saya antarkan pulang ya?”
“Jangan nak, Abu bisa jalan kaki”
“Sudah, tidak apa.”
Akhirnya aku tak mengelak. Kutatap anak berbudi luhur ini. Ia selalu ringan tangan membantu sesiapa saja yang sedang kesusahan. Alhamdulillah sekali, berkat bantuannya, kini aku bisa membawa pulang daging ini untuk dimasak istriku. Melihatnya, pikiranku pun semakin berandai tentang Ali. Seandainya saja posisi Abdul terganti oleh dirinya.
***
“Abu, hari telah senja. Kita telah mempersiapkan semua ini untuk anak kita. Tapi, ke mana mereka Abu? Mengapa Ali belum juga sampai? Ia telah berjanji pulang di hari megang ini Abu.”
Kulihat tetesan itu kembali keluar dari sepasang bola matanya. Senja penuh penantian, megang penuh harapan. Namun jiwa yang dirindu tak urung jua. Ke mana putra kebanggaan kami, kapan kami bisa mendekap tangan-tangan mungil cucu kami. Apakah anak kami telah kehilangan arah hingga tak tahu lagi jalan pulang.
“Mak, bersabarlah sejenak lagi. Kita telah menanti sangat lama, mungkin, kita hanya perlu bersabar sesaat lagi”
“Tapi Abu, sedari tadi siang, Mak telah berharap ini akan jadi megang terindah untuk kita. Abu, rindu ini sudah membelenggu, kian menggurita dalam hati Mak.”
“Bersabarlah istriku, anak kita akan pulang. Aku sedang mendengar langkah kakinya berjalan. Tunggu saja, sebentar lagi ia akan sampai.”
Di luar kudengar celoteh-celoteh anak kecil yang mungkin sedang riangnya menyantap daging dan masakan megang. Itu cucu-cucu tetanggaku. Padahal aku ingin sekali mendengar lagu tawa anak-anak dari putraku itu. Aku sudah terlanjur bahagia membayangkan megang ini akan menyantap nasi bersama anak dan semua cucuku yang manja.
Senja telah berlalu. Azan telah dikumandangkan dan takbir telah digemakan, bersahut-sahutan dari menasah-menasah yang ada di setiap kampungnya. Tapi anak kami yang telah berjanji bermegang di sini tak pula terdengar langkah kakinya.
Malam telah larut, namun jiwa yang kami tunggu tak jua datang. Kulihat Mardiah terus menghitung detik dan menit pada jam dinding yang berderit. Mardiah terduduk diam menatap kuali, menatap piring yang berhias masakan-masakan khas hari megang. Makanan-makanan nikmat itu sedang menanti dilahap mulut tuannya.
“Ali, pulanglah nak, jemput rindu ini. Mak meusyén neuk, pajan gata teuka?pajan gata woe aneuk lôn?”[1]
“Sudahlah istriku, tutup makanan-makanan itu. Kita tutup cerita megang ini sejenak. Mudahan tuhan memberi kita umur panjang untuk menikmati megang tahun depan bersama anak kita. Tidurlah istriku. Malam telah larut. Kita harus istirahat. Mungkin Ali akan tiba esok. Ini kejutan buat kita. Anak kita pasti datang menjemput rindu. Seketika membuka pelupuk mata esok hari, ia pasti sudah di depan. Sekarang istirahatlah sayang!”
“Tapi, Ali sudah menjanjikan ini akan jadi hari megang terindah buat Mak dan Abu.”
Kutahu, hatinya masih sangat terkapar menanti ananda, jiwanya bergelayut tangis. Tapi, tidurlah sayang. Malam telah larut. Biar malam yang akan menatap bungkus doa kita.
Sebenarnya aku tak bisa memejamkan mata. Mimpi-mimpi sunyi di sepanjang malam tidaklah terangkul, bayang-banyang bahagia tentang berhari megang bersama ananda telah sirna, haruslah tabah yang menemani suram dan gundah ini. Aku dan Mardiah telah senja, tak mampu berbuat apa-apa, mungkin ada benarnya apa yang diucapkan anak muda tadi sore. Kami hanyalah tua bangka yang lusuh dan tak berguna. Kami tak lagi dipandang, mungkin hanya menunggu waktunya dibuang dan dilupakan.
Di samping, kulihat Mardiahku sudah terlelap. Kutahu, ia memejam mata dengan hati yang terluka. Berharap memetik rindu, namun hanya nestapa yang mengurai. Tak apa sayang, biar Allah yang menjawab rindu kita. Terlelaplah sayang, tidurlah wahai sayangku.
***
Subuh telah memanggil jiwa yang gersang ini, azan dikumandangkan dan takbir kembali digemakan untuk menyambut mentari Idul Adha. Ternyata benar, janji tentang hari megang yang indah hanyalah sebuah balada kehancuran, semua tipu daya bak durjana. Hati ini telah benar-benar kecewa karena yang kami tunggu hanya sebuah angan palsu.
Aku terbangun memecah dingin. Biarlah dinginnya air menembus kulit keriput ini. Kutunaikan dua rakaat. Kumohonkan pada Rabbi agar senantiasa menguatkan hati dengan tabah, semoga saja rindu ini terobati dengan zikir.
Usai itu aku bangkit dengan langkah tergopoh. Aku ingin membangunkan Mardiah. Biasanya ia bangun terlebih dulu, tapi pagi ini tidak. Mungkin karena semalam ia tidur lebih telat dari biasanya. Dan kulihat, tubuhnya masih terlelap. Tapi tidak, ada yang berbeda. Mataku yang rabun mendapatinya, innalillah, innalillah, innalillah. Mardiahku telah terbujur kaku. Dada ini sesak, nafas yang mengalir tak mampu memapah harap. Hatiku terpukul bertalu-talu, semayup kini berjerit tangis. Mardiahku telah pergi. Mardhiahku dengan harapan besarnya tentang janji hari megang yang bahagia, ternyata harus pergi dengan hati yang tergores kecewa.
Sesegera kuhapus air mata ini. Aku telah kehilangan jelita hati. “Allah, kuatkan jiwa yang dilanda duka ini”. Kutadahkan kedua tangan, kudongakkan kepala, kumohonkan kepada-Nya agar senantiasa menempatkan istriku di negeri Firdaus. Aku hanya mampu tersungkur. Tak bisa kumaafkan diri sendiri. Benarlah, hanya takdir tuhan yang mampu memisahkan cinta kami. “Pergilah sayang, damailah di sisi-Nya. Semoga Allah menerimamu dengan keampunan-Nya”
Dan aku, situa bangka ini, kini hanya bertemankan sunyi, bermandi nestapa.
“Wahai kau putraku, ingat lé gata hai aneuk[2], yang mungkin kau tak tahu lagi jalan menuju tanah tempat kau berpijak dan menatap dunia untuk pertama kalinya, pulanglah nak! Sekejap saja, walau hanya sekedip mata. Anakku, Abu masih menantimu tabah, seperti Mak yang mendambamu di setiap megangnya. Aku masih menantimu datang, Nak. Kembalilah! Semoga tuhan mengampunimu.”
Identitas Penulis
Nama : Nanda Muliana
NIM : 1406102010047
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Sumber : Potret Sastra
Comments
Post a Comment